Lorong Waktu, fiction part 4

Di hari pernikahan Ronne, Massimo memulai latihan berjalannya setelah sekian tahun terhenti karena ia menganggap semangatnya telah meluruh seperti dedaunan kering tertiup angin.

Ketika Ronne dan Pinoy menikmati bulan madu dengan berkelana ke Vigan, sebuah kota peninggalan Spanyol di Illocos Sur, Luzon utara — kepulauan Filipina, Massimo meletakkan kartu pos pertama yang diterimanya dari Ronne saat mereka memulai penpal dulu di atas cermin kamar tidurnya sebagai pemberi semangat berlatih berjalan.

Pada hari jadi tahun kedua pernikahan Ronne, Massimo sudah mampu berjalan tertatih-tatih di tengah perkebunan anggur dan ikut memetik anggur saat panen.

Di hari pertama pertengkaran hebat Ronne dengan suaminya pada tahun keempat pernikahan mereka, Massimo melakukan perjalanan bersepeda ke Venezia dan mendatangi tempat-tempat favorit Ronne di sana.

Di hari Ronne memutuskan pulang ke Indonesia karena tidak mau tinggal bersama lagi dengan Pinoy di Manila –setelah ulangtahun kelima pernikahan mereka, Massimo sibuk memeriksa situs penjualan electronic-ticket tujuan Indonesia.

Tujuh tahun setelah pertemuan pertama di Istrana, Massimo dan Ronne bertemu kembali di Ubud. Mereka berdua merayakan perjumpaan kembali itu dengan bersepeda melewati persawahan Tegalalang dan Penestanan.

* dipetik dan diedit dari surat Marcus Harris untuk penulis *

Lorong Waktu, fiction part 3

Ronne membiarkan dirinya terayun-ayun pelan di ayunan. Ia tengah mengherani dirinya, atas keberhasilan melacak bintang idolanya di masa kanak-kanak.

Namun Marcus Harris bukanlah si lelaki ini. Ia bukanlah sosok yang meski menyita waktu dan energi bisa dilacaknya lewat dunia maya karena sebuah kepopuleran. Dia seakan tak ‘tersentuh’ modernitas bernama internet. Sepucuk surat terakhirnya buat Ronne adalah penugasannya sebagai wajib militer ke Perang Teluk, disusul telegram yang menyebut lelaki itu telah pergi buat selamanya.

Tapi kata ‘Istrana’, ‘Treviso’ dan ‘Massimo’ merupakan kunci yang membuat Ronne terus memiliki perasaan — yang ia sendiri tak bisa terjemahkan. Beda dibanding perasaannya kepada Pinoy.

“Ronne? Ruwina Madyaratri? Saya tahu, kamu pasti menjengukku suatu hari.”

Lelaki itu bercakap sambil mengayuh kursi rodanya ke depan Ronne. Rambut kecokelatan serta kepalanya tertimpa sinar matahari, menciptakan kesan bak peri tampan dalam dongeng.

“Massimo?” suara Ronne seakan larut bersama derai angin. Ia seakan tak percaya lelaki itu di depannya. “Tapi telegram itu menyatakan kau sudah meninggal?”

Keduanya saling bertatapan. “Ya, aku meminta Mara –yang tadi membukakan pintu untukmu– mengirim telegram yang isinya demikian. Karena aku merasa tak pantas menjumpaimu dengan sepasang kaki invalid.”

Kabut pun menabiri sepasang mata Ronne. “Kamu sungguh tidak adil dengan penilaian sepihakmu atas perasaan saya terhadapmu.”

Lelaki itu memandangnya teduh. Tanpa bersuara. “Dan kamu mesti tahu, saya tak pernah bisa melupakan alamat rumahmu, dan tulisan tanganmu, serta janjimu untuk menunjukkan beberapa tempat sekitar rumahmu, yang menurutmu ‘mirip dengan deskripsi di beberapa episode cerita Lima Sekawan’.”

Massimo membiarkan Ronne terus berbicara mengungkapkan kesalnya panjang lebar. Lalu menimpali pelan, “Meski perlu waktu begitu lama untuk membuat pertemuan kita menjadi nyata, apakah ada bedanya antara dulu dan sekarang, Ronne?”

Terdiam Ronne dibuatnya. Mereka berpandangan. Lama sekali. Dalam hati, gadis ini meyakini; sesungguhnya segala permintaan akan dikabulkan. Cuma waktunya tak dapat ditentukan dan mungkin tak sepenuhnya sesuai harapan.

Lelaki itu membuka sebuah kotak kayu kecil, di mana tersimpan semua surat dan kartupos yang pernah Ronne kirimkan. Termasuk potretnya saat SMA. Berkaos putih dan jins, duduk di antara bebatuan air terjun Coban Talun, Jawa Timur. Lalu potret si lelaki itu sendiri, dengan seragam militer angkatan darat, berlatarbelakang panser. “Kamu masih ingat saat saya dipanggil wajib militer?” tanya Massimo memandangi Ronne lekat-lekat.

“Tentu saja!” yang ditanya bangkit dari ayunan dan berlutut disampingnya. “Kamu mengirimi saya potret serupa. Bertuliskan, ‘Sekarang Massimo menjadi supir tank Puma 2’.”

Keduanya tertawa di depan ladang gandum saat matahari memulaskan warna-warna petang. Massimo tak pernah bertemu Ronne sebelumnya. Namun sore ini kedua manusia itu memaknai kedekatan yang begitu hangat saat mereka berbincang-bincang. Sama-sama merasakan kerinduan mereka menyublim bersama perjalanan sang waktu.

Sampai akhirnya Ronne dikejutkan oleh sebuah ‘kekinian’, saat ponselnya menerima sms dari Pinoy. ‘Hai, sudah mencapai titik meeting point pertemuan kita besok di Venezia? Saya tak akan lupa membawa perlengkapan kita. Peralatan fotografiku dan kebayamu. Love, P.’

Ah! Seharusnya Ronne sudah berpamitan pada Massimo dan berterimakasih atas pertemuan mereka. Ia mesti melanjutkan perjalanan segera karena besok Pinoy akan menyusulnya ke Venezia, dimana mereka berdua akan membuat potret pre-wed untuk undangan pernikahan mereka di Jakarta dua bulan mendatang.

Pinoy tak bisa pergi hari ini bersama Ronne, karena ada satu lensa kamera belum selesai diservis. Mengingat kekasihnya tak sabar untuk berada di atas sadel sepeda lagi, Pinoy menawarkan alternatif Ronne pergi lebih dulu dan mengantarnya hingga stasiun Brest.

Rencananya Ronne akan mengenakan kebaya sutra putih dan Pinoy dengan baju Barong Tagalog warna senada, berdiri di dermaga tempat gondola-gondola bersandar. Dilatarbelakangi gereja tua Saint Giorgio Maggiore. Serta tema lain, berboncengan di atas sepeda. Pinoy sendiri yang akan memotret, dengan tripod dan timer.

Sepasang mata biru cerah milik Massimo memandanginya lekat-lekat. “Ada apa? sesuatu membuat hatimu sedih?” tanyanya hati-hati.

Ronne menggelengkan kepala. Masa lalu dan masa kini. Impian dan kenyataan. Semuanya berbaur dalam benaknya. Bagaimana Ronne mesti bercerita tentang Pinoy? Ronne masih ingat bagaimana Massimo tadi berkelakar, “Cuma Mara dan ibuku, perempuan yang setia mendampingi lelaki di atas kursi roda, Ronne.”