berbincang di rumah sendiri

Sebagai pejalan, saya menganggap rumah adalah tempat saya pulang.  Sebuah pohon rindang buat bersarang.

(c) Aftonun Nuha, saya tengah memaparkan pengalaman naik bus ke Ladakh Range, India

Seorang kawan asal Arkansas (AS) yang gemar bepergian ke negeri-negeri Asia serta anak benua India mengungkap, “Rumah adalah tempat menggantung backpack selagi kita tidak bepergian ke tempat-tempat jauh.”

Jadi, bagaimana saya mendefinisikan kepulangan ke Kota Pahlawan kali ini? Kembali ke kamar saya yang dipenuhi koleksi lagu-lagu heavy metal pemusik Canada, Rush dan Brits techno-pop Duran Duran era 1980-an serta buku petualangan Lima Sekawan, sudah pasti.

Menggantung backpack sejenak, benar adanya. Bertemu dengan teman-teman lama, rasanya juga menjadi suatu kewajiban -–di samping rasa rindu juga sudah disemai sejak masih berada jauh dari perimeter bernama ‘rumah’.

Tapi tak kalah penting, adalah sebuah misi yang diselipkan di sana. Untuk menjadi seorang pembicara dalam acara bertajuk National Geographic Traveler’s Backpacking and Street Photography Workshop yang digelar di Convention Hall A, Gramedia Expo, Surabaya.

Saya berbagi soal “Bagaimana menyiapkan diri untuk menjadi seorang pejalan independen” sedang rekan saya, editor foto National Geographic, Reynold Sumayku memberikan kiat tentang “Menjadikan potret makin bermakna lewat pendekatan humanis.”

Yang terjadi dalam seminar mini -–atau saya dan Rey lebih suka menyebutnya sebagai sharing–- adalah presentasi dan tanya-jawab yang hidup, karena dapat mengajak mereka ikut serta sebagai bagian dari makalah yang dibawakan.

Pengalaman menjadi solo backpacker sejak 15 tahun lalu membuat saya leluasa memberikan contoh dan deskripsi tentang hal yang biasa dihadapi seorang pejalan solo atau pejalan independen.

Dan saya menggarisbawahi, betapa interaksi dengan masyarakat lokal menjadi hadiah bagi segala detail persiapan yang telah saya lakukan jauh-jauh hari sebelum memulai sebuah perjalanan.

Tentu saja, landasan saya berbagi adalah pengalaman pribadi, juga pengamatan serta berbagai masukan dan pelajaran yang didapat selama melakukan perjalanan. Karena bagi saya, bepergian secara mandiri telah dilakukan banyak orang, asing maupun negeri sendiri sejak lama.

Dengan cara dan kapasitas berbeda, termasuk mereka yang sudah mendatangi banyak negara di seluruh penjuru dunia. Saya hanya ingin menggugah, tentang keindahan di setiap sudut kota, desa serta seisi negeri –-dimana makna atau hasilnya bisa berbeda, tergantung pada sudut pandang dan ide orisinal si pejalan.

Yang mengharukan, dalam acara ini saya berjumpa dengan Dewi Aryanti, pejalan trip bermotor ke Italia dan Perancis serta Jawa dan Nusa Tenggara. Sosok begitu santun, lembut dan menyenangkan, yang banyak membacai tulisan saya di blog maupun edisi cetak National Geographic Traveler.

Sementara kejahilan dalam konotasi positif saya jumpai pada Ayos Purwoaji, peserta yang gemar menanyai keseharian saya, mulai soal perijinan dari keluarga atas kesukaan saya traveling, sampai bagian sudut kota Surabaya lama mana yang menjadi favorit saya.

Pertanyaan terakhir ini, sulit dijawab. Bukan karena tidak ada, tapi karena begitu banyaknya. Saya dibesarkan dan tumbuh bersama Surabaya, dan nukilan kenangan ada di setiap jengkal tanahnya.

Seperti juga saya menjadikan kedatangan kali ini sebagai momentum bertemu beberapa sahabat semasa SMU; Agus ‘Ampyang’, Dian dan Okto. Lebih dari 20 tahun kami tak berjumpa, hingga jeda antarkegiatan National Geographic Traveler di Surabaya saya manfaatkan untuk bersama mereka.

Termasuk menyantap nasi goreng Gubeng Pojok -–yang semasa kami sekolah harganya Rp 2.500,- per piring-– sampai bermain basket malam hari di SMU Negeri 7.

Semua demi kenangan dan kebersamaan yang sudah lama tak kami dapati. Dan semuanya terasa indah, berlangsung hingga lewat tengah malam. Satuan waktu yang mesti ‘dibayar’ untuk melunasi 20 tahun ketidakhadiran saya atas persahabatan kami yang dimulai dari sekolah.

Esok paginya, kegiatan National Geographic Traveler berlanjut dengan hunting foto di beberapa kawasan historis Surabaya.

Penjelajahan berawal dari Kantor Pos Pusat Jalan Kebon Rojo, menuju gedung Bank Mandiri sampai gedung pemerintahan dengan jam kuno, Tugu Pahlawan dan Gereja Santa Perawan Maria ‘Kelsapa’. Diteruskan area Jembatan Merah, mulai gedung-gedung tua bidang perbankan, bangunan berangka tahun 1880 sampai jembatan bersejarah dan berakhir di daerah Kembang Jepun, mulai gerbang Kya Kya, Jalan Slompretan, gang Bong sampai klenteng di Jalan Coklat.

Di antara langkah para peserta hunting fotografi yang kami selenggarakan, di tengah kemeriahan pasar dadakan seputaran Tugu Pahlawan hingga keanggunan bangunan-bangunan berlanggam kolonial nan jangkung, saya merasai keindahan Surabaya.

Memaknai bahwa setiap kali pulang ke kota ini mempertebal kenangan tentang sebuah kota yang telah membesarkan saya, seperti terlihat di hari ini.

Beberapa buku panduan perjalanan (travel guide) mengungkap; tak banyak yang bisa ditawarkan Surabaya sebagai destinasi wisata. Tapi bagi saya pribadi, semuanya berpulang pada cara masing-masing personal dalam memberikan makna pada sebuah tempat.

Tergantung pada kejelian menangkap momentum di sudut-sudut kota. Karena semua tempat adalah indah. Seperti kata Ampyang; hidup itu indah (dan tentunya sarat makna –-tambahan dari saya).

This posting is dedicated to:

‘rumah’ saya, tercinta Nicholas dan sahabat saya, Ampyang-Dian-Okto

Panitia Surabaya yang penuh energi: ‘Afternoon’ Nuha, Be’de kecil Icha, ‘Sampang Berbahaya’ Adhitama

Panitia Jakarta yang penuh senyum: ‘Cong’ Adit Noto, Purwo Subagiyo, Reynold Sumayku

Seluruh peserta workshop National Geographic Indonesia, terutama Ibu Myke, Dewi Aryanti, Pak Agus dan Pak Poer.

about lasiana beach

lasiana beach. one of the beaches in west timor, indonesia which is situated nearby kupang. the capital city.

it’s about 17 km from city centre. a beach where locals spending their weekend with all family members and gather with relatives and colleagues.

so, don’t be surprised. the aroma of grilled fish, guitars playing, liquor fragrance from fermented palm fruits are in the air. it’s kinda like beach festival on sunday. whilst the boys do volleyball, jogging, fishing or swimming.

for us, watching the waving spiky lontar leaves and sunset are very interesting. in the simplicity of lasiana beach. spiky lontar [palm tree] is an icon of timor island.

(c) ukirsari